Saya menyesal mengungkapkan apa yang telah saya ungkapkan. Sebagai seseorang yang sudah mengenal saya seumur hidup saya, saya pikir dia akan mengerti... Entah saya yang nggak bisa positive thinking... atau memang demikian adanya. Akhir-akhir ini neuron-neuron saya memang sedang berada dalam tegangan tertinggi. Jadi, mungkin saja saya berpikiran jelek tentang segala sesuatunya.
Saya tahu saya belum melakukan tugas saya dengan baik. Dijadikan panutan pun, sepertinya belum layak. Namun saya sungguh bertekad ingin menunjukkan dan melakukan yang terbaik. Sayangnya... hal tersebut nggak semudah yang saya kira. Saya pikir.. seseorang yang hidup bersama saya selama 23 tahun bisa mengerti saya sepenuhnya (harus saya akui, sampai saat ini pun saya terkadang tak mengerti jalan pikirannya). Tapi rupanya... 23 tahun belum cukup untuk mengenal saya. Sepertinya selama ini saya di-cap tak pernah berpikiran ke depan. Padahal... sungguh... saya selalu mencoba berpikir ke depan. Saya selalu berusaha untuk berpikir melingkar dengan melihat segala sesuatunya dari berbagai sudut.
Mungkin saya terlihat seperti individu yang tak peduli, tapi harusnya... seseorang yang sudah 23 tahun mendampingi saya tahu, bahwa saya bukannya tidak peduli. Saya hanya mengalami sedikit kesulitan untuk mengungkapkan rasa peduli saya. Harusnya dia pun tahu, bahwa selama ini saya memendam dalam-dalam keinginan saya agar mereka dapat meraih keinginan mereka. Apa itu bukan termasuk salah satu parameter kepedulian?
|
jadi inget film yang pernah menang piala oscar. di situ salah satu tokohnya bilang "saya butuh 'seumur hidup' yang kedua untuk dapat memahami kamu." begitulah, seumur-umur, manusia belum tentu bisa dipahami secara komplet. mungkin itu juga kenapa hati juga disebut kalbu (kalbu = 'yang mudah berubah-ubah').
just my two cents...